Kata tandingan dalam kancah politik Indonesia saat ini menjadi sebuah
tren yang sering diperbincangkan. Betapa tidak, karena banyak institusi,
organisasi, bahkan lembaga negara ramai-ramai menerapkan politik tandingan.
Seperti PSSI, DPR, Gubernur DKI, PPP dan Partai Golkar. Meskipun untuk yang
terakhir kita sebut masih mewacanakan.
Politik tandingan sendiri mulai marak dikenal
masyarakat ketika terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh PSSI (Persatuan
Sepak Bola Seluruh Indonesia). Akibat dari perebutan kekuasaan di PSSI maka
muncullah dua liga (ISL dan IPL), berdiri klub-klub tandingan sebagai efek
dukung-mendukung ketua PSSI. Namun, konflik tersebut sekarang sudah dapat terselesaikan
dengan mengakomodir semua kepentingan dan kembali pada aturan awal serta
petunjuk FIFA.
Ditubuh lembaga terhormat seperti DPR pun
ternyata tidak lepas dari kisruh politik sehingga memaksa sebagian anggotanya
mendeklarasikan DPR tandingan. Munculnya DPR tandingan tidak lepas dari
perebutan kekuasaan di DPR oleh dua koalisi di DPR yaitu Koalisi Merah Putih
(KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KMP merupakan koalisi partai yang pada
Pemiilihan Presiden 2014 mendukung Prabowo-Hatta. KMP terdiri dari partai
Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, PPP. Sedangkan KIH merupakan partai
pendukung Jokowi-JK yang pada akhirnya memenangkan Pemilu diantaranya PDIP,
Partai Nasdem, PKB, Hanura.
Sebagai partai yang kalah dalam Pilpres maka
KMP perlu memposisikan diri sebagai partai pengawal kebijakan pemerintah yang
senantiasa mengkritisi pemerintah. Untuk bisa mengawal pemerintahan secara
efektif tentu KMP merasa menguasai kursi-kursi penting di DPR. Hal inilah yang
membuat KIH merasa pelaksanaan demokrasi di DPR kurang demokratis karena segala
keputusan diambil dengan voting yang tentu saja dimenangkan oleh KMP. Prinsip
musyawarah di sidang-sidang DPR untuk membahas pimpinan DPR sampai fraksi
ditiadakan. Rentetan kekecewaan KIH akhirnya dilampiaskan dengan membentuk DPR
tandingan.
Kekacauan politik DPR tentu sangat merugikan
bagi pemerintah dan rakyat Indonsia sendiri karena kebijakan-kebijakan yang
harus dilaksanakan banyak yang terbengkalai. Untuk mengatasi kekisruhan
tersebut akhirnya tokoh-tokoh politik dari dua koalisi mengadakan pertemuan dan
berhasil memecahkan kebuntuhan di DPR.
Politik tandingan yang baru-baru ini terjadi
adalah deklarasi Gubernur DKI tandingan oleh beberapa ormas seperti FPI (Front
Pembela Islam) dan FBR (Forum Betawi Rembug). Beberapa ormas menolak gubernur
yang sah saat ini Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dan menggantinya dengan
Fahrurrozi Ishak. Banyak hal yang menjadi alasan penolakan terhadap Ahok
diantaranya karena latar belakang agama, dan juga sikap Ahok yang tempramental
dalam memimpin Jakarta.
Pada saat deklarasi Rozi menyatakan menerima
menjadi Gubernur DKI dan membuat pernyataan "Kalau
ada yang mengaku sebagai Gubernur DKI Jakarta dan datang ke kampung-kampung,
warga harus menolaknya. Karena gubernur rakyat Jakarta yang sah ialah
Fahrurrozi Ishak," (dikutip dari
tempo.co.id). Namun, deklarasi Gubernur DKI tandingan ditanggapi dengan dingin
dan santai oleh Ahok. Seperti disampaikan oleh tempo.co.id, Meski
diancam dilengserkan, Ahok mengaku tak mengkhawatirkan ancaman tersebut. Alasannya,
jabatan gubernur yang diembannya saat ini sudah berkekuatan hukum. Sebaliknya,
aksi FPI untuk menyingkirkan Ahok dari Jakarta tergolong melawan konstitusi.
Tren politik tandingan di Indonesia tidak
sejalan dengan demokrasi Pancasila dan dapat mengkhawatirkan keberlangsungan pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Munculnya pemimpin tandingan dalam berbagai organisasi
karena apa yang mereka harapkan dalam organisasi terebut tidak terakomodir
sehingga menimbulkan kekecewaan dan muncullah pemimpin tandingan dalam politik
Indonesia. Politik tandingan menimbulkan kelompok-kelompok baru dan menjadikan
masyarakat terpecah-belah. Kenyamanan masyarakat dalam melakasanakan akitivas
sehari-hari pun akan terganggu karena muncul rasa was-was terhadap kemanan lingkungan
yang biasanya ketika konflik akan diikuti gesekan fisik antar kelompok.
Demokrasi Pancasila pada hakekatnya
pemerintahan rakyat yang dijiwai oleh sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Prinsipnya segala kebijakan pemerintah dan pengambilan keputusan harus
didasarkan pada prinsip muswayarah mufakat. Pelaksanaan musyawarah mufakat akan
membawa pada keputusan yang lebih bijak dan bisa mengakomodir kepentingan semua
kelompok. Ketika kepentingan semua kelompok terakomodir tentu tidak akan muncul
pemimpin-pemimpin tandingan.
Untuk itu, mari kita kembali pada kearifan
lokal kita yaitu Pancasila. Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara dan
ideologi negara yang bisa kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam berpolitik. Mari kita kembali pada politik Pancasila yaitu
politik yang santun, yang beradab, tidak menghina dan melecehkan yang berbeda,
mengedepankan musyawarah mufakat dan tentunya berupaya menjaga persatuan dan
kesatuan.
Jayalah Indonesia!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar